Posted by: Ruang Kota | 30/11/2011

Tantangan Globalisasi

Dengan adanya fenomena globalisasi, para pekerja terampil dan berpendidikan di berbagai negara berkembang dapat menemukan pekerjaan di manca negara dan di perusahaan multi nasional, dengan bayaran yang tinggi dan tingkat penghidupan yang lebih sejahtera. Sebagian masyarakat perkotaan yang beruntung ini mampu mengakses peluang global untuk meningkatkan penghasilannya.

Namun ternyata globalisasi tidak membuka kesempatan yang sama bagi warga penghuni permukiman kumuh. Ketertutupan kesempatan ini sebenarnya merupakan kerugian yang besar sekali jika pemerintah dan pemerintahkotatidak memiliki keinginan politik yang kuat untuk meningkatkan kesejahteraan kaum miskinkotasecara berarti dengan cara membuka peluang bagi mereka di era globalisasi. Kerugian paling besar adalah kehilangan banyak sekali kesempatan mendorong dan menciptakan lapangan pekerjaan di sektor formal, baik di sektor publik maupun di industri-industri swasta dengan orientasi ekspor. Sebagai hasilnya, yang tersisa hanyalah pekerjaan-pekerjaan di sektor informal, dengan upah yang sangat rendah dan tanpa keamanan hubungan kerja. Dengan perkataan lain, fenomena sektor informal adalah manifestasi kegagalan menangkap peluang globalisasi untuk kesejahteraan semua golongan masyarakat. Apakah globalisasi itu sendiri yang memilih kelompok mana yang berhak meraih peluang ataukah tata pemerintahan di suatu negara yang berperan?

Ketimpangan sosial-ekonomi kota ini akan semakin meningkat tanpa adanya strategi pembangunan nasional perkotaan dan strategi pembangunan kota-kota yang mengarah pada isu pemberdayaan masyarakat miskin dan sektor informal kota untuk meraih peluang globalisasi. Hal ini berarti bahwa sumberdaya-sumberdaya utama kota hanya semakin meningkat dan terakumulasi dalam lingkaran penguasaan kaum menengah atas perkotaan. Kondisi seperti ini bukan hanya menimbulkan masalah kesenjangan dan segregasi sosial.

Lebih jauh, dalam situasi kesenjangan yang tinggi, dampak globalisasi adalah mendorong meningkatnya harga-harga berbagai barang, dengan kata lain, mendorong meningkatnya inflasi. Mengapa? Karena kaum menengah atas mampu membayar lebih banyak untuk bahan-bahan kebutuhan pokok. Dalam situasi pengadaan tanah untuk perumahan yang hanya diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, maka kesenjangan ini mendorong inflasi harga tanahkotasecara drastis. Hal ini diperparah dengan adanya penghapusan penetapan harga bagi kebutuhan pokok dan peningkatan biaya-biaya utilitas melalui privatisasi dan penghapusan subsidi silang. Semua keadaan yang serba liberal dan dipengaruhi dampak globalisasi ini bermuara kepada semakin miskinnya warga miskinkota, serta tidak menutup kemungkinan semakin rentannya wargakotasecara luas untuk jatuh miskin.

Sebagai dampaknya, kelompok miskin semakin terpinggirkan ke sudut-sudutkotayang tidak layak huni, di bawah kolong-kolong jembatan, dan di belakang gedung-gedung tinggi di tepian parit dan kali. Dalam keadaan pengawasan yang lemah sekali dan tumbuhnya iklim pembiaran oleh pemerintahkota, perkembangan permukiman kaumkotayang kurang beruntung ini akhirnya mengokupasi tanah-tanah yang bukan untuk permukiman, seperti bantaran rel kereta api, bantaran sungai, tanah-tanah negara, dan sebagainya. Keadaan ini semakin meningkatkan pemadatan dan penjalaran permukiman kumuh dan informal perkotaan, persis di tengah tengah berlangsungnya akumulasi modal sekelompok yang beruntung untuk memanfaatkan peluang-peluang globalisasi.

Kemampuan pemerintah nasional untuk melakukan intevensi berdasarkan kewenangannya semakin kecil. Di sisi lain, pemerintah kotatidak memiliki sistem redistribusi pajak kotayang efektif, yang diperlukan untuk menangani masalah ini. Selain itu, ikatan-ikatan sosial yang ada di masyarakat semakin rusak melalui rangkaian aksi penggusuran dan pencitraan kaum miskin kotasebagai pelanggar ketertiban semata, sehingga semuanya memperlemah otoritas yang semata berbasis tradisi dan cara-cara penanganan yang biasa (business as usual).

Teori efek tetesan ke bawah (trickle-down effect) yang telah dikembangkan oleh para ahli teori pro-pertumbuhan sebagai suatu instrumen kebijakan yang bertujuan memperbaiki penghasilan para pekerja miskin, tidak menampakkan hasilnya. Bagaimanapun, suatu efek trickle down terbatas hanya untuk bagian masyarakat yang relatif kecil dan sangat lokal. Teori ini tidak bekerja efektif untuk kasus masyarakat negara dan masyarakat kota dengan jumlah penduduk satu juta lebih. Di sisi lain, lembaga-lembaga pemberi bantuan internasional yang didukung oleh instansi pemerintah saat ini sebatas mencari cara untuk mengatasi masalah kemiskinan global secara langsung tanpa didukung upaya membangun kelembagaan yang efektif di tingkat kota untuk mengatasi masalah ini.

Secara keseluruhan, tetap lebih baik bagi negara-negara berkembang untuk berpartisipasi dalam globalisasi daripada mengisolasi diri. Namun, negara-negara harus selektif dalam mengijinkan proyek-proyek yang tidak memiliki dampak lokal, atau menghasilkan keuntungan yang layak, atau yang tidak menguntungkan warga negaranya untuk berbagai alasan lainnya. Dalam hal ini diperlukan sejumlah kejelian dan kecerdasan yang cukup untuk mengembangkan sistem pembangunan yang terpadu dan komprehensif, yang di satu sisi responsif terhadap peluang-peluang perkembangan global dan di sisi lain tanggap terhadap kebutuhan pemberdayaan warga masyarakatnya.

 Dari sudut pandang global ini, beberapa pertanyaan seharusnya membuat para pihak lebih menyadari apa yang sedang berlangsung dan langkah-langkah apa yang harus diambil. Apakah globalisasi menghancurkan institusi-institusi tradisional dan merusak tatanan sosial? Apakah hanya golongan menengah perkotaan dan paling terampil dan berpendidikan yang diuntungkan oleh globalisasi? Apakah kemiskinan yang semakin meluas dan seringkali perusakan masyarakat dan pemerintahan di negara-negara berkembang, setimpal dengan keuntungan potensial dari tetesan minim modal internasional? Apakah terdapat beberapa peluang nyata globalisasi yang pada akhirnya menguntungkan seluruh dunia dan seluruh warganya?

Namun bagaimanapun, perhatian terhadap masalah permukiman kumuh di tingkat global telah meningkat dari masa-masa sebelumnya. Globalisasi membawa serta perhatian terhadap masalah permukiman kumuh untuk diatasi oleh negara-negara yang masih bermasalah dengan isu ini. Para pemerhati, pegiat masyarakat hingga warga permukiman kumuh kini bisa mendapatkan akses langsung yang lebih besar terhadap lembaga-lembaga bantuan internasional serta lembaga-lembaga pemerintah di tingkat nasional yang mengembangkan kepedulian terhadap penanganan permukiman kumuh. Kondisi seperti ini memberikan iklim yang lebih kondusif dalam menargetkan program-program penanganan permukiman kumuh yang seiring sejalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan . Dengan informasi yang lebih baik memungkinkan penanganan permukiman kumuh dapat mencari solusi yang lebih baik, dimana warga bisa memperoleh kesempatan yang lebih terbuka dan penghidupan yang lebih layak.

Posted by: Ruang Kota | 30/11/2011

Pembentukan dan Pertumbuhan Kota di Indonesia

Menurut Werner 1987, ”Kota-kota besar dan kecil di kepulauan di India, termasuk yang ada di Indonesia memiliki akar sejarah tersendiri. Tempat-tempat ini secara umum dibagi dalam empat strata utama dalam formasi perkotaan, yakni pendirian kota-kota baru, masyarakat agrikultural – yang kemudian berkembang menjadi pusat dominasi asli yang baru,  pusat-pusat perdagangan dan pusat-pusat administratif. Kedua strata yang terakhir membentuk tempat yang dahulunya pedesaan”. Masih menurut Werner (1987), prasyarat paling penting untuk formasi awal pembentukan kota sudah ada di nusantara sebelum periode Hindu, hal ini dapat diindikasikan dengan adanya institusionalisasi pemerintahan yang diatur oleh seorang penguasa. Pada saat itu ada dua jenis tipe masyarakat perkotaan yang sedang berkembang yakni, masyarakat yang memiliki dominasi pekerjaan berdagang di pelabuhan dan pusat dominasi kegiatan pada kekuasaan lokal (pedalaman).

Pada periode pengaruh kerajaan Hindu, Islam dan periode awal kekuasaan Eropa (1400-1700M), perdagangan merupakan faktor utama pada pembentukkan masyarakat dengan karakteristik perkotaan, meski tidak secara langsung namun perdagangan mempercepat proses feodalisasi dalam sebuah komunitas asli. Sementara pada masa Pemerintah Kolonial (1700-1900) pertumbuhan perkotaan lebih efektif dirangsang dengan menggunakan faktor politis/administrasi ketimbang dengan faktor kegiatan perdagangan. Masih menurut sumber yang sama menyebutkan bahwa kotadi Indonesiamemiliki tiga karakter yaitu, permukiman nelayan, permukiman industri manufaktur dan pertambangan dan permukiman pariwisata.[1]

Jika kita telusuri sebelum kedatangan Portugis dan Belanda, di Indonesia hampir tidak kita dapati satu kotaatau bekas kotayang berarti. Namun, yang ada adalah kotapantai atau bandar sebagai pusat lalu lintas perdagangan terbatas, seperti Palembang(pada masa Sriwijaya), Barus di pantai Barat Sumatera, Tanjung Perak di Surabaya. Sementara itu, di pusat-pusat kerjaan Nusantara juga masih dapat kita jumpai bekas kotayang terbentuk dengan kegiatan sebagai pusat pemerintahan, seperti Yogyakarta, Solo dan kotakecil lainnya di Bali. [2]

Menurut Marbun 1994, pertumbuhan kotadi Indonesiamelalui sejarah yang cukup panjang. Kota-kota di Indonesiasaat ini bukan merupakan bentukan atau warisan dari zaman keemasan kerajaan Nusantara terdahulu, tetapi merupakan bentuk dan kreasi sejarah dan faktor kebetulan yang kemudian diteruskan dan dibina penjajah Belanda selama 350 tahun. Pada mulanya kota-kota di Indonesia terbentuk akibat faktor-faktor, yaitu sebagai pusat pemerintahan kolonial, sebagai pusat niaga dan sebagai pelabuhan serta terminal untuk memasok berbagai bahan kepentingan pemerintah kolonial.[3] Bertolak dari pembentukankota yang merupakan hasil dari aktivitas dominan sebuahkota, maka sesuai tuntutan kebutuhan warganyakota terus tumbuh menyesuaikan dengan perkembangan dunia.

Bentukan, kreasi dan faktor kebetulan yang mendorong pertumbuhan bagi sebuah kotasehingga akhirnya dapat membentuk ‘citra’ suatu kota(seperti dituturkan Marbun 1994) tentunya ditunjang oleh keutamaan fisik alamiah dari sebuah kota. Seperti halnya, posisi atau keutamaan fisik alam Kota Cilegon yang berada di pesisir pantai dan berbatasan (terpisah oleh Lautan) dengan lempengan Sumatera sehingga dapat memposisikan Kota Cilegon sebagai Kota Pelabuhan (Merak). Jakarta sebagai kota perdagangan karena kondisi fisik alam yang merupakan wilayah dataran dengan posisi strategis dengan jalur darat yang secara langsung berbatasan dengan wilayah Tangerang, Bekasi dan Depok yang merupakan supplier sekaligus konsumen dari berbagai barang yang diperjualbelikan di Jakarta, selain jalur darat, jalur laut dan udara juga memberikan kemudahan bagi kegiatan perdagangan sehingga wilayah yang dijangkau kota ini dalam kegiatan perdagangan lebih luas, kondisi ragam jenis barang dan ditunjang aksesibilitas yang baik jelas menarik konsumen dari berbagai wilayah untuk ke Jakarta melakukan transaksi perdagangan. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas dominan yang dapat membentuk kota dapat diasumsikan sebagai akibat dari suatu sebab yaitu kondisi/keunggulan fisik alamiah kota, bukan karena kebetulan semata. Hal ini juga diperkuat oleh Branch (1996) yang menyatakan bahwa bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya.[4]

Mendukung pernyataan di atas, menurut Werner 1987 dalam perkembangan kota-kota di Indonesia mengungkapkan beberapa identitas kota dengan berbagai ciri fisik yaitu, bagi sebuah desa nelayan adalah letak permukiman yang berada di tepi pantai atau muara sungai, atau juga tepi danau yang tidak curam, bukan hutan bakau, dan tidak berlumpur, selain itu juga memiliki akses ke laut lepas. Sementara itu, Kotaindustri manufaktur dan kotatambang umumnya berkembang karena dorongan dari perkembangan infrastruktur, motorisasi, dan perkembangan jasa-jasa pelayanan, selain itu umumnya tipe kotaini di Indonesiaterletak diluar/bersebelahan dengan kotapemerintahan. Sedangkan kota pariwisata, secara fisik seperti karakter alamnya memiliki keunikan atau keistimewaan, seperti sumber air panas di wilayah tropik, lokasi di wilayah pegunungan atau perbukitan seperti Bandung, secara non fisik seperti keunikan etnik dan budaya.[5]

Kota Batavia misalnya telah dibangun dan dibesarkan oleh perdagangan yang sudah berkembang sejak kekuasaan Tarumanegara (abad ke-5 dan ke-6M) sampai dengan 20M  dengan titik utamanya Pelabuhan Sunda Kelapa dan berbagai keterlibatan pedagang yang berasal dari Eropa, Gujarat maupun Cina. Demikian kuatnya dominasi kegiatan ini sampai Pemerintah Hindia Belanda mellihat dominasi kegiatan ekonomi pesisir ini sulit ditembus karena kebanyakan penguasa kota-kota pesisir telah menjalin kerjasama dengan Inggris  yang merupakan pesaing Belanda dalam kolonialisme di nusantara pada saat itu. Kemudian pertumbuhan fisik kota Batavia diteruskan ke arah Selatan dengan memberikan tembok pertahanan yang memanjang dan menghadap ke Timur, Selain itu Batavia juga dilengkapi dengan dinding kota dengan 15 sudut tembak meriam, semua peralatan ini dibangun untuk pertahanan sekaligus mengantisipasi serangan Mataram saat itu.[6] Untuk mendeteksi sejarah dan dominasi aktivitas yang membentukkota yang pada pemerintahan yang berwenang dapat kita perhatikan dari karakteristik lingkungan binaan yang dibangun oleh pemerintahkota saat itu. Trend pertumbuhannya pun akhirnya disesuaikan dengan kebutuhan warga yang tinggal di dalamnya.

Pada awal pertumbuhannya, permukiman urban di Indonesia masih diwarnai oleh tradisi pedesaan yang dipengaruhi oleh struktur agraris dengan kehidupan sosial yang bertumpu pada ekonomi gotong royong. Namun seiring berjalan waktu, sebagian kelompok masyarakat merasa perlu melengkapi dirinya dengan budaya tulis-menulis, misalnya Sansekerta, Jawa Kuno, Arab Melayu, sehingga mereka menghasilkan peradaban kota, sedangkan yang tidak akan tetap berpegang pada peradaban desa dan kelompok ini jelas akan tertinggal. Lebih lanjut, pertumbuhan kota menghasilkan sistem pelapisan sosial dan birokrasi yang ternyata berhasil mendorong masyarakat agar mampu menghasilkan surplus pertanian dan industri domestik yang hasilnya akan mendukung kebudayaan kota.[7]

 

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Kota di Indonesia

Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa, pertumbuhan kota-kota di Indonesia awalnya didorong oleh :

  1. aktivitas kota (baik dominasi kegiatan pemerintahan/politis, perdagangan, pertahanan, pertambangan, manufaktur, dsb) yang pada akhirnya membentuk citra (image) kota. Citra kota tersebut dapat menentukan struktur simbolis yang akan diperhatikan, diingat dan dianggap penting oleh oleh kelompok-kelompok pemukim di kota itu atau oleh para pengunjung.[8] kemudian;
  2. aktivitas kota tentunya sangat ditunjang oleh potensi fisik wilayah;
  3. penduduk kota (baik penduduk asli maupun pendatang) yang melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan hidupnya di kota juga merupakan tulang punggung penggerak dinamika kehidupan kota;
  4. Berbagai faktor-faktor di atas akhirnya perlu ditunjang dengan faktor kebijakan politis  pemerintahan yang berwenang yang juga mendorong tumbuh dan eksisnya suatu kota.


[1] Werner Rutz, Urbanization of the Earth 4, Cities and Town in Indonesia,Stuttgart,Berlin, 1987.

[2] Marbun, Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1994

[3] Marbun, Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1994

[4] Melville C. Branch, Perencanaan Kota Komprehensif, Gadjah Mada University Press, 1996

[5] Werner Rutz, Urbanization of the Earth 4, Cities and Towns in Indonesia,Stuttgart,Berlin, 1987

[6] Bagus Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia, 1994

[7] Bagus Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia, 1994

[8] Hans Dieter Evers & Rudiger Korff, Urbanismo di Asia Tenggara, Yayasan Obor Indonesia, 2002

Posted by: Ruang Kota | 30/11/2011

Asal Mula Pembentukan Kota

Golany 1995 mengungkapkan bahwa sebelum terbentuknya sebuah kotapedalaman, tahapan  yang terbentuk adalah wilayah pusat-pusat pertumbuhan, yang merupakan lokasi permanen yang kemungkinan berkembang dari lahan aktifitas suatu wilayah seperti halnya dari keberadaan sebuah pedesaan atau lokasi baru. Namun dorongan kebutuhan untuk pengembangan lokasi pusat kegiatan ini adalah kebutuhan ekonomi masyarakat yang ditunjang oleh kemudahan transportasi untuk dicapai, kenyamanan untuk orang-orang saling berkomunikasi dan letak secara geografis berada dalam posisi yang strategis. Sehingga keunggulan ini dapat mendorong kegiatan pemasaran, industri, administrasi, Jasa, budaya, kesenian, pertahanan.[1] Golany 1995 juga menyebutkan bahwa “permukiman kemudian berkembang menjadi sebuah kota karena kebutuhan manusia semakin berkembang, dan dalam upaya memenuhi kebutuhan sosialnya ini maka manusia mengorganisasikan dirinya dengan alam dan manusia lainnya sehingga tercapai sistem keteraturan yang dapat memenuhi tuntutan kehidupannya”.

Sementara menurut Mumford 1961, Sebelumkotamenjadi tempat bermukim yang tetap, tempat ini mulanya menjadi tempat pertemuan manusia yang akan selalu kembali lagi secara periodik.  Tentu hal ini disebabkan karena keberadaan magnet utama dalam sebuah kota yaitu tempat penyimpanan makanan. Selain sebagai tempat penyimpanan, Kota juga merupakan tempat bertemu orang-orang untuk saling berkomunikasi dan meningkatkan semangat. Berbagai keunggulan yang dimiliki kota akhirnya mendukung pembentukan kota sebagai pusat perdagangan yang merupakan peran yang paling penting dari sebuah kota.


[1] Gideon S Golany, Ethics and Urban Design:Culture, Form and Environment. John Wiley & Sons, Inc.New York. 1995

Posted by: Ruang Kota | 30/11/2011

Tipologi Kota

Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan budaya dengan variasi geografis yang sangat beragam. Pertanyaan yang mendasar dapat diajukan adalah apakah kota-kota akan dikembangkan dengan substansi tertentu? Apakah pengembangan kota-kota di Indonesia mampu di generalisasi? Suatu langkah yang tampaknya akan sangat sulit untuk dilakukan ataupun andai kata dapat dilakukan akan mereduksi sangat besar nilai-nilai budaya lokal yang ada pada masing-masing kota yang tentunya sangat beragam dan unik. Untuk mencoba memecah pertanyaan tersebut maka dapat dilihat berbagai tipologi kota yang ada di Indonesia, yaitu :
a)  Tipologi berdasarkan kondisi geografis wilayah dikenal dengan pesisir,kotadelta, dan kota tepian air.
b)  Tipologi berdasarkan ukuran atau skala kota dikenal dengan kota kecil,kota sedang,kota besar, dan kota metro. Pembagian kota ini berdasarkan jumlah penduduk yang ada pada sebuh ruang kota.
c)  Tipologi berdasarkan proses politik atau pengambilan keputusan publik di sebuah kota dikenal kota otoriter dan kota yang demokratis.
d)  Tipologi berdasarkan penyelenggaraan penataan ruang dikenal dengan kota strategis nasional,kota di pusat kegiatan nasional,kota di pusat kegiatan wilayah, dan kota di pusat kegiatan lokal.

Posted by: Ruang Kota | 30/11/2011

Definisi Kota dan Kawasan Perkotaan

Definisi klasik kotamenurut Rapoport dalam Zahnd (1999; 4) adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial. Dari definisi di atas, perkmukiman/kota digambarkan sebagai objek yang mempunyai unsur sosial yang mempengaruhi kegiatan yang  pada pembangunan berkelanjutan (sustainable). Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat akan terus berkembang dengan semakin kompleksnya kegiatan-kegiatan dalam kota, kota tidak lagi mempunyai fungsi tunggal (single use) dalam-pemenuhan kebutuhan masyarakatnya namun memiliki kecenderungan multi fungsi (mixed use) dengan fungsi kegiatan yang berorientasi pada kepentingan pasar  dan kepentingan publik. Sehinggakota dapat diartikan sebagai suatu lokasi dengan konsentrasi penduduk/permukiman, kegiatan sosial ekonomi yang heterogen dan intensif (bukan ekstraktif sepertinya pertanian), pemusatan, koleksi dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan sosial ekonomi yang ditetapkan secara administratif.  Jikakota adalah suatu wilayah yang ditetapkan secara administratif, perkotaan tidak terbatas pada penetapan administratif, namun berdasarkan ciri-ciri perkotaan yang dimiliki oleh suatu wilayah. Dalam UU Penataan ruang No.26 tahun 2007, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

Kriteria kawasan perkotaan meliputi :

  1. Memiliki karakteristik kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau mata pencaharian penduduknya terutama di bidang industri, perdagangan dan jasa;
  2. Memiliki karakteristik sebagai pemusatan dan distribusi pelayanan barang dan jasa didukung prasarana dan sarana termasuk pergantian modal transportasi dengan pelayanan skala kabupaten atau beberapa kecamatan. Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Kawasan Perkotaan dapat berbentuk :
  • Kotasebagai daerah otonom; adalahkotayang dikelola oleh pemerintahkota;
  • Kotayang menjadi bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan; adalahkotayang dikelola oleh daerah atau lembaga pengelola yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada pemerintah kabuaten.
  • Kotayang menjadi bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan; dalam hal penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu dikelola bersama oleh daerah terkait.

Klasifikasi Kawasan Perkotaan berdasarkan jumlah penduduk, dibagi menjadi :

  • Kawasan Perkotaan Kecil, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang   dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa;
  • Kawasan Perkotaan Sedang, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang  dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa;
  • Kawasan Perkotaan Besar, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang     dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa;
  • Kawasan Perkotaan Metropolitan, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk  yang dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa.

Penetapan daerah yang disebut perkotaan meurut BPS (Badan Pusat Statistik) berdasarkan pada beberapa kriteria. Kriteria desa perkotaan yang digunakan diIndonesiatelah mengalami beberapa kali penyempurnaan, sesuai dengan perkembangan pembangunan wilayah. Penyempurnaan tersebut dilakukan setiap 10 tahun sekali dan biasanya menjelang pelaksanaan Sensus Penduduk (SP). Sampai sekarang sudah dilakukan 4 (empat) kali penyempurnaan yang secara berturut-turut menghasilkan kriteria desa perkotaan 1961, kriteria desa perkotaan 1971, kriteria desa perkotaan 1980, dan kriteria desa perkotaan 2000. Menjelang SP 1990 tidak dilakukan penyempurnaan kriteria desa perkotaan sehingga tidak ada kriteria desa perkotaan 1990. Demikian juga menjelang pelaksanaan Sensus Penduduk 2010 tidak dilakukan penyempurnaan kriteria desa perkotaan, sehingga kriteria desa perkotaan yang digunakan adalah kriteria desa perkotaan 2000 yang hanya terdapat sedikit penajaman.

Kriteria desa perkotaan 2000 merupakan kriteria yang sampai sekarang masih diterapkan. Kriteria desa perkotaan 2000 menggunakan 3 (tiga) indikator sebagai ukurannya, yaitu; kepadatan penduduk per km2 (KPD), presentase rumah tangga pertanian (PRT), dan keberadaan atau akses untuk mencapai fasilitas perkotaan (AFU).

Posted by: Ruang Kota | 21/09/2011

Work Shop Ke – II

Kegiatan Work Shop yang ke-II dilaksanakan pada tanggal 12 September 2011 yang bertempat di  Jakarta. Kegiatan tersebut dihadiri oleh empat orang nara sumber. Pembicara pertama, Direktur Eksekutif Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Bapak P.Agung Pambudhi yang menyampaikan materi Studi Tata Kelola Ekonomi Daerah 2011 (Survey Pelaku Usaha di 245 Kota/Kabupaten). Pembicara ke dua Walikota Pekalongan Bapak Dr. Muhamad basyir Ahmad, yang menyampaikan Materi Strategi Pembangunan Kota Pekalongan (Pengembangan Perkotaan dalam Perspektif Kreatif Kota). Pembicara ke tiga Kasubdit Penataan Kota menengah Direktorat Jendral bina Pembangunan daerah Direktorat Penataan Perkotaan Departemn dalam Negri Bapak Ir. Obertua butar-butar, yang menyampaikan materi Penyelenggaraan kewenangan Direktorat Penataan Perkotaan dalam Pembinaan Kawasan Perkotaan. Dan Pembicara Ke empat Bapak Deni Zulkaidi, Dosen Planologi ITB yang menyampaikan Materi tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Perkotaan.

Pada Kesempatan tersebut, Bapak Agung Pambudhi menyampaikan Empat hal yang mempengaruhi pertumbuhan peran ekonomi yaitu : Infra Struktur, Letak Geografis, Sumber Daya Alam dan Lokasi Terpencil. Lebih lanjut Bapak Agung Pambudhi menyampaikan bahwa berdasarkan hasil Survey sumbangan yang bersifat Swadaya lebih di terima masyarakat dibandingkan pungutan yang ditarik oleh Pemerintah, Polisi, Preman dan lain-lain.

Sementara itu, pada kesempatan tersebut Walikota Pekalongan menyampaikan bahwa Pekalongan sebagai salah satu kota tua yang berusaha beradaptasi dengan peradaban modern mencoba memberikan indentitas ke daerahnya dengan membawa image sebagai kota “BATIK”. Untuk mendorong kemajuan dan perkembangan di daerahnya pemerintah berusaha selalu ber “INOVASI” yang dihaharapkan dapat mendorong kemajuan pekalongan menjadi lebih cepat, lebih kuat dan lebih hemat.

Lebih lanjut Bapak Ir. Obertua butar-butar menyampaikan empat Ruang lingkup Pembinaan Perkotaan meliputi : Koordinasi Pemerintah, Pemberian Pedoman dan Pelaksanaan urusan Pemerintah, Pemberian Suvervisi, bimbingan dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintah, Pendidikan dan Pelatihan, Perencanaan, Penelitian, Pengembangan, Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.

Pembicara ke ke Empat Bapak Deni Zulkaidi menyampaikan tiga standar pengembangan perkotaan yang meliputi : Standar teknis (penyediaan sarana dan prasarana perkotaan. Seperti tempat parkir), Standar Biaya (penyusunan RTRWP, RTRW,RRTR,RDTR dan lain-lain), Standar design (lingkungan, rop dan lain-lain)

Posted by: Ruang Kota | 06/09/2011

Work Shop I

Pada Saat ini, dapat dikatakan bahwa hampir setengah dari populasi warga dunia kini hidup di lingkungan perkotaan, hal tersebut yang kemudian menjadi sumber permasalahan di perkotaan. Populasi yang tinggi di lingkungan perkotaan berdampak pada pembangunan yang tidak terkendali dan cenderung tidak terstruktur.Oleh karena itu, peran yang makin penting dan strategis dari kawasan perkotaan secara nasional perlu diimbangi dengan pengendaliannya. Upaya pengendalian ini perlu diatur secara jelas dan tegas serta dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak sehingga pembangunan perkotaan mampu mendukung pembangunan perkotaan nasional, dan bukan memperlemahnya (bersifat kontraproduktif terhadap pembangunan perkotaan nasional).

 Gagasan mengenai Pengembangan Perkotaan dalam Prespektif Kreativias Kota perlu di kedepankan oleh Pemerintah sebagai salah satu konsep penanganan pembangunan perkotaan diIndonesia. Nilai utama dari gagasan diatas adalah menjadikan suatu kota yang mampu mengelola keberagaman secara interaktif sehingga semua warganya selalu produktif “mencipta” dalam semua bidang dan tingkatan, dari nilai-nilai sampai produk material.Pada akhirnya, kota-kota yang sudah sadar untuk “mengkreatifkan diri” mampu bersikap lebih toleran, dapat lebih jelas dan pasti dalam mengembangkan industri kreatif mereka, dan memperlakukan ruang (penggunaan lahan) dengan lebih arif, yaitu memberi ruang kreatif di kantong-kantong kreatif kota mereka yang berujung pada pertumbuhan ekonomi.Manfaat lain yang dapat dinikmati bila gagasan tersebut diatas terealisasi pada kota-kota di Indonesia adalah: a). membangun citra dan indentitas Lokal; b). memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan; c). menciptakan iklim bisnis yang positif; d). menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif; e). memberikan dampak sosial yang positif.

Berkaitan dengan hal tersebut maka pada Pada Hari Kamis  tanggal   4 Agustus 2011 yang betempat di Gedung Aula Unisba Bandung diadakan  kegiatan Workshop “Pengembangan Perkotaan dalam Perspektif Kreativitas Kota “ yang dilaksanakan oleh  Direktorat Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan ruang, Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Univesitas Islam Bandung. Peserta WORKSHOP Pengembangan Perkotaan dalam Perspektif Kreativitas Kota “dihadiri oleh : Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang; LSM; Asosiasi; Akademisi; dan Tokoh Masyarakat.

Tujuan penyelenggaraan WORKSHOPPengembangan Perkotaan dalam Perspektif Kreativitas Kota “ adalah memahami lebih mendalam mengenai materi Kota Kreatif dalam mendukung pengembangan perkotaan dan bagaimana implementasinyaterhadap  Kota-kota di Indonesia.

Pada kesempatan tersebut di hadiri oleh empat orang nara sumber yaitu : Nara sumber pertama  disampaikan oleh Tim  Bappeda Jawa Barat yang menyampaikan materi Pembinaan Kota dengan Judul Jawa Barat dalam mewujudkan Kota-kota berkelanjutan, Pembica ke dua diasampaikan oleh Tim  dari BCCF Ibu Ade Tinamei ST., MT yang menyampaikan materi tentang Pengembangan Perkotaan dengan Judul Kota dan Ekonomi Kreatif. Pembicara ke tiga disampaikan oleh Ibu  Ir. Hetifah Sj. Siswanda, MPP, PhD anggota DPR RI dengan materi Kelembagaan Perkotaan yang berjudul Kota Kreatif dan Kebutuhan Kelembagaan Perkotaan dan nara sumber ke empat disampaikan oleh Bapak  Dr. Ir. IF. Poernomosidhi dari Kementrian Pekerjaan Umum, yang menyampaikan materi tentang Family tree dengan judul Menuju Pembangunan Kota yang Berkelanjutan Melalui Pembinaan NSPK yan Tepat dan Berdaya Guna.

Categories