Dengan adanya fenomena globalisasi, para pekerja terampil dan berpendidikan di berbagai negara berkembang dapat menemukan pekerjaan di manca negara dan di perusahaan multi nasional, dengan bayaran yang tinggi dan tingkat penghidupan yang lebih sejahtera. Sebagian masyarakat perkotaan yang beruntung ini mampu mengakses peluang global untuk meningkatkan penghasilannya.
Namun ternyata globalisasi tidak membuka kesempatan yang sama bagi warga penghuni permukiman kumuh. Ketertutupan kesempatan ini sebenarnya merupakan kerugian yang besar sekali jika pemerintah dan pemerintahkotatidak memiliki keinginan politik yang kuat untuk meningkatkan kesejahteraan kaum miskinkotasecara berarti dengan cara membuka peluang bagi mereka di era globalisasi. Kerugian paling besar adalah kehilangan banyak sekali kesempatan mendorong dan menciptakan lapangan pekerjaan di sektor formal, baik di sektor publik maupun di industri-industri swasta dengan orientasi ekspor. Sebagai hasilnya, yang tersisa hanyalah pekerjaan-pekerjaan di sektor informal, dengan upah yang sangat rendah dan tanpa keamanan hubungan kerja. Dengan perkataan lain, fenomena sektor informal adalah manifestasi kegagalan menangkap peluang globalisasi untuk kesejahteraan semua golongan masyarakat. Apakah globalisasi itu sendiri yang memilih kelompok mana yang berhak meraih peluang ataukah tata pemerintahan di suatu negara yang berperan?
Ketimpangan sosial-ekonomi kota ini akan semakin meningkat tanpa adanya strategi pembangunan nasional perkotaan dan strategi pembangunan kota-kota yang mengarah pada isu pemberdayaan masyarakat miskin dan sektor informal kota untuk meraih peluang globalisasi. Hal ini berarti bahwa sumberdaya-sumberdaya utama kota hanya semakin meningkat dan terakumulasi dalam lingkaran penguasaan kaum menengah atas perkotaan. Kondisi seperti ini bukan hanya menimbulkan masalah kesenjangan dan segregasi sosial.
Lebih jauh, dalam situasi kesenjangan yang tinggi, dampak globalisasi adalah mendorong meningkatnya harga-harga berbagai barang, dengan kata lain, mendorong meningkatnya inflasi. Mengapa? Karena kaum menengah atas mampu membayar lebih banyak untuk bahan-bahan kebutuhan pokok. Dalam situasi pengadaan tanah untuk perumahan yang hanya diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, maka kesenjangan ini mendorong inflasi harga tanahkotasecara drastis. Hal ini diperparah dengan adanya penghapusan penetapan harga bagi kebutuhan pokok dan peningkatan biaya-biaya utilitas melalui privatisasi dan penghapusan subsidi silang. Semua keadaan yang serba liberal dan dipengaruhi dampak globalisasi ini bermuara kepada semakin miskinnya warga miskinkota, serta tidak menutup kemungkinan semakin rentannya wargakotasecara luas untuk jatuh miskin.
Sebagai dampaknya, kelompok miskin semakin terpinggirkan ke sudut-sudutkotayang tidak layak huni, di bawah kolong-kolong jembatan, dan di belakang gedung-gedung tinggi di tepian parit dan kali. Dalam keadaan pengawasan yang lemah sekali dan tumbuhnya iklim pembiaran oleh pemerintahkota, perkembangan permukiman kaumkotayang kurang beruntung ini akhirnya mengokupasi tanah-tanah yang bukan untuk permukiman, seperti bantaran rel kereta api, bantaran sungai, tanah-tanah negara, dan sebagainya. Keadaan ini semakin meningkatkan pemadatan dan penjalaran permukiman kumuh dan informal perkotaan, persis di tengah tengah berlangsungnya akumulasi modal sekelompok yang beruntung untuk memanfaatkan peluang-peluang globalisasi.
Kemampuan pemerintah nasional untuk melakukan intevensi berdasarkan kewenangannya semakin kecil. Di sisi lain, pemerintah kotatidak memiliki sistem redistribusi pajak kotayang efektif, yang diperlukan untuk menangani masalah ini. Selain itu, ikatan-ikatan sosial yang ada di masyarakat semakin rusak melalui rangkaian aksi penggusuran dan pencitraan kaum miskin kotasebagai pelanggar ketertiban semata, sehingga semuanya memperlemah otoritas yang semata berbasis tradisi dan cara-cara penanganan yang biasa (business as usual).
Teori efek tetesan ke bawah (trickle-down effect) yang telah dikembangkan oleh para ahli teori pro-pertumbuhan sebagai suatu instrumen kebijakan yang bertujuan memperbaiki penghasilan para pekerja miskin, tidak menampakkan hasilnya. Bagaimanapun, suatu efek trickle down terbatas hanya untuk bagian masyarakat yang relatif kecil dan sangat lokal. Teori ini tidak bekerja efektif untuk kasus masyarakat negara dan masyarakat kota dengan jumlah penduduk satu juta lebih. Di sisi lain, lembaga-lembaga pemberi bantuan internasional yang didukung oleh instansi pemerintah saat ini sebatas mencari cara untuk mengatasi masalah kemiskinan global secara langsung tanpa didukung upaya membangun kelembagaan yang efektif di tingkat kota untuk mengatasi masalah ini.
Secara keseluruhan, tetap lebih baik bagi negara-negara berkembang untuk berpartisipasi dalam globalisasi daripada mengisolasi diri. Namun, negara-negara harus selektif dalam mengijinkan proyek-proyek yang tidak memiliki dampak lokal, atau menghasilkan keuntungan yang layak, atau yang tidak menguntungkan warga negaranya untuk berbagai alasan lainnya. Dalam hal ini diperlukan sejumlah kejelian dan kecerdasan yang cukup untuk mengembangkan sistem pembangunan yang terpadu dan komprehensif, yang di satu sisi responsif terhadap peluang-peluang perkembangan global dan di sisi lain tanggap terhadap kebutuhan pemberdayaan warga masyarakatnya.
Dari sudut pandang global ini, beberapa pertanyaan seharusnya membuat para pihak lebih menyadari apa yang sedang berlangsung dan langkah-langkah apa yang harus diambil. Apakah globalisasi menghancurkan institusi-institusi tradisional dan merusak tatanan sosial? Apakah hanya golongan menengah perkotaan dan paling terampil dan berpendidikan yang diuntungkan oleh globalisasi? Apakah kemiskinan yang semakin meluas dan seringkali perusakan masyarakat dan pemerintahan di negara-negara berkembang, setimpal dengan keuntungan potensial dari tetesan minim modal internasional? Apakah terdapat beberapa peluang nyata globalisasi yang pada akhirnya menguntungkan seluruh dunia dan seluruh warganya?
Namun bagaimanapun, perhatian terhadap masalah permukiman kumuh di tingkat global telah meningkat dari masa-masa sebelumnya. Globalisasi membawa serta perhatian terhadap masalah permukiman kumuh untuk diatasi oleh negara-negara yang masih bermasalah dengan isu ini. Para pemerhati, pegiat masyarakat hingga warga permukiman kumuh kini bisa mendapatkan akses langsung yang lebih besar terhadap lembaga-lembaga bantuan internasional serta lembaga-lembaga pemerintah di tingkat nasional yang mengembangkan kepedulian terhadap penanganan permukiman kumuh. Kondisi seperti ini memberikan iklim yang lebih kondusif dalam menargetkan program-program penanganan permukiman kumuh yang seiring sejalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan . Dengan informasi yang lebih baik memungkinkan penanganan permukiman kumuh dapat mencari solusi yang lebih baik, dimana warga bisa memperoleh kesempatan yang lebih terbuka dan penghidupan yang lebih layak.